Rumah budhe

"Marhabaaan... Terima kasih Telah Berkunjung Dan Silahkan Tinggalkan Komentar ...."

Kamis, 29 Januari 2009

"Adikku"

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.




Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, " Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana !"

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota . Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Sumber cerita dari email sahabat yang budhe terima semalam

31 komentar:

rosa devga mengatakan...

ceritanya begitu sedih ya..., jarang banget ada seorang adik kakak yang seperti itu.salut neh...

Anonim mengatakan...

Cerita yang sangat indah...Inspiratif. Selama hidupku aku hanya jadi benalu bagi kakakku yang sudah seperti ibu kandungku. Karena belum genap usiaku 4 tahun Ibu sudah mendapat undangan surga.
Salam budhe.

Nia mengatakan...

wahhh ceritanya sangat menyentuh...bagus banget..mdh2an kita bisa mencontoh sifat dari adik trsebut yg berani berkorban demi kakaknya dan demi membalas budi....

Keke Naima mengatakan...

cerita yg bagus & menyentuh budhe..
Sy juga selalu berharap agar kedua anak sy saling menghormati & saling menyayangi :)

ENDRIYANI mengatakan...

Wah bagus banget ceritanya Budhe...Sangat mengharukan!!! Coba kita semua bisa seperti kakak adik yg seperti ada dicerita ya saling membantu dan menghargai...Pasti dunia ini damai...

Anonim mengatakan...

Cerita yang menyentuh budhe..
semoga anak2ku bisa seperti itu yah..

Anonim mengatakan...

bagus banget ceritanya...
menyentuh....

keluarga memang sangat berarti bagi kita

Milla Widia N mengatakan...

aku terharu bacanya, jadi inget sama adikku nih..karena kami deket banget
tapi sekarang dia tinggal di melbourne hik hik :(

Anonim mengatakan...

Budhe.......
aku nangis bacanya....
indah banget..

Elsa mengatakan...

aku pernah dapet cerita ini lamaaaaaa banget dari seorang teman.
dan meskipun telah baca berkali-kali, tetep aja ... rasanya pingin nangiiis....

Linda Rose.... mengatakan...

So sweet..menyentuh banget..Jarang ada ditemukan di keluarga2 zmn sekarang..Gimana yach biar punya anak yang kompak seperti itu?

www.katobengke.com mengatakan...

cerita yang indah penuh dengan makna..........

DEMI ALLAH AKU BERSUMPAH.....
AQ MENANGIS MEMBACANYA.....
KARNA AKU TERINGAT ADIKKU.....
IA SEKARANG BAGAI TULANG PUNGGUNG KELUARGA KAMI....
SEDANGKAN AKU BLOM JUGA DAPAT KERJA WALAU AQ SEORANG LULUSAN SARJANA.....
AQ MEMBACANYA BAIK2 KARNA KISAHNYA HAMPIR MIRIP DENGAN APA YANG AKU ALAMI SEKARANG

DEMI ALLAH AQ KAGAK BOHONG.....

www.katobengke.com mengatakan...

boleh knapa tidak....
makasih atas usulannya

Novy Chrystiana mengatakan...

cerita yang sangat menyentuh hati ya budhe....bisa untuk cerita anak-anakku supaya mereka tetap saling menyayangi hingga akhir hayat.amiin...
makasih ceritanya budhe...

Anonim mengatakan...

budhe ceritanya panjang banget... hiks... aku bacanya agak kliyeng kliyeng hehe...

Anonim mengatakan...

Terima kasih atas cerita indah ini, Budhe. Saya mesti banyak belajar dari Budhe dan adik Budhe tentang kejujuran, keberanian dan kasih sayang. Salam untuk keluarga di dusun sana.

Anonim mengatakan...

sedihnya...
begitulah kakak adik semestinya
Jadi inget adikku budhe..
minta doanya terus budhe,
mudah2an segala urusannya diberi kemudahan oleh Allah swt, amiiin

mezzaluna mengatakan...

budhe, ceritanya menyentuh banget...jadi sedih...

Banyak pelajaran yang bisa diambil...

Anonim mengatakan...

salam ziarah..kita sudah baca-baca dan juga ambil kod linknya, ada masa silalah juga kunjungi ambil back linkku ye..mekasih..:)

Anonim mengatakan...

assalamu'alaikum wrwb Budheku sayang...i miss U so much Budhe ... maaf br sempet blogging lagi ...zie juga pengen buanget kopdar sm Budhe kapan ya ..kalau Budhe balik ke Indonesia kabari zie ya

Anonim mengatakan...

wah ini cerita sesungguhnya atau cerpen Budhe...mulia sekali hati adik Budhe...subhanalloh

Anonim mengatakan...

duuhh sampe netes air mataku baca kisah ini budhe....

semoga ceritanya bs kita jdkan tauladan yaaa saling kasih mengasihi antara sodara jgn ada rasa iri dengki atu sakit hati dan persaingan utk mendapatkan perhatian dr org tua.

Penny mengatakan...

Peni pernah baca cerita ini, dan saat membacanya terharu banget. Karena persaudaran dengan kakak-kakak juga belum sampai taraf seperti itu.
Pengorbanan yg ikhlas..

Anonim mengatakan...

duh... jadi merinding budhe

Anonim mengatakan...

waah,, tegas amat ayahnya ya..!!

-=-IpanG-=- mengatakan...

sedih..hik..hik..hik..

Anonim mengatakan...

Asyik...
Ceritanya benar2 bagus!!!

learning online business mengatakan...

good ppsting, nice job!

Ibnu Mas'ud mengatakan...

Lama nggak berkunjung kesini budhe...
apa kabar.....????

Ini artikel tentang sebuah cerita yang sangat indah.

Mampir NGombe mengatakan...

Berkunjung Bude....ko bad mod...apa ladi dikasih ade lagi ya...selamat ya bude...trmakasih kunjungannya...

Ibnu Mas'ud mengatakan...

gimana kabarnya budhee????, kok nggak pernah posting di blog ini lagi!!!

Tulisan budhe lainnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...